Makalah Pertanggungjawaban Negara (State Responsibility)

BAB    I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Banyak tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain. Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan, prinsip-prinsip negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “Pertanggungjawaban negara-negara bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah”. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam arti tegas.

Sumber tanggung jawab tersebut adalah suatu tindakan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum internasional. Akan tetapi dapatkan tanggung jawab dibebankan terhadap negara-negara berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum internasional, misalnya tindakan perdata tanpa memandang apakah tindakan itu bertentangan atau tidak dengan hukum domestik.

Jelas pengenaan kewajiban yang diberikan bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah akan bergantung pada keadaan kasusnya. Yang paling lazim, negara yang dirugikan akan berusaha untuk memperoleh; Pertama, pelunasan (satisfaction) melalui perundingan diplomatik, dan bila hanya menyangkut kehormatan pada umumnya akan cukup dengan suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang bertanggungjawab atau suatu jaminan, bahwa persoalan yang diprotes tersebut tidak akan berubah lagi. Namun, penggantian dalam bentuk uang yang dibedakan dari pelunasan kadang perlu, khususnya bila terjadi kerugian materi. Kedua, persoalan tanggung jawab (liability) serta jumlah penggantian kerugian dibawa ke muka pengadilan arbitrase internasional untuk memperoleh keputusan.

Kesalahan atau kerugian-kerugian yang menimbulkan tanggung jawab negara mungkin beragam jenisnya. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab karena melanggar traktat, berkaitan dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban kontraktual karena kerugian-kerugian terhadap warga negara dari negara lain dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan kami batasi dalam pembahasan makalah ini, yaitu:
1.      Apakah Pengertian Pertanggungjawaban Negara?
2.      Bentuk Pertanggungjawaban Negara?
3.      Jenis Pertanggungjawaban Negara?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui Pengertian Pertanggungjawaban Negara
2.      Untuk mengetahui Bentuk Pertanggungjawaban Negara.
3.      Untuk mengetahui Jenis Pertanggungjawaban Negara.

D.    Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

BAB I berisi empat poin, poin pertama yaitu mengenai latar belakang, poin kedua  rumusan masalah, poin ketiga tujuan penulisan, dan poin keempat yaitu sistematika penulisan. BAB II berisi empat poin, poin pertama yaitu pembahasan mengenai pengertian, bentuk, dan jenis pertanggungjawaban negara. Poin kedua, yaitu pembahasan mengenai tanggung jawab negara terhadap pelanggaran perjanjian internasional. Poin ketiga, yaitu pembahasan mengenai tanggung jawab negara terhadap pelanggaran kewajiban kontraktual. Sedangkan poin keempat, yaitu pembahasan mengenai upaya hukum untuk memperoleh kompensasi atau pemulihan hak. BAB III yaitu bab terakhir dalam makalah ini, berisi dua poin yaitu kesimpulan dan saran atas pembahasan yang kami bahas sebelumnya.






BAB    II
PEMBAHASAN

Pengertian Pertanggungjawaban Negara

Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi, dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain.

Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain, tertapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Misalnya perbuatan negara yang menolak masuknya seorang warga negara asing ke dalam wilayahnya tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara itu. Hal itu disebabkan karena negara itu menurut hukum internasional berhak menolak atau menerima warga negara asing masuk ke dalam wilayahnya.[1]

Pertanggungjawaban Negara memiliki dua pengertian. Pengertian yang pertama memiliki arti pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional yang telah dibebankannya. Sedangkan pengertian kedua adalah pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.

Tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut reparasi.[2] Dalam hukum nasional dibedakan antara pertanggungjawaban perdata dan pidana; begitu pula dalam hukum internasional terdapat beberapa ketentuan yang serupa dengan hukum nasional tapi hal ini tidak menonjol. Di samping itu, hukum internasional mengenai pertanggungjawaban belum berkembang begitu pesat.[3]

Pertanggungjawaban muncul, biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional[4] melanggar kedaulatan wilayah lain[5], menyerang negara lain[6], mencederai perwakilan diplomatik negara[7], bahkan memperlakukan warga asing dengan seenaknya[8]. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya, tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar dari kerugian yang telah ditimbulkan.

Pembedaan derajat dalam pertanggungjawaban internasional sebagaimana dinyatakan dalam The Rainbow Warrior Case tidak terdapat sebagaimana umumnya ditunjukkan oleh hukum nasional. Lebih lanjut, dalam the Rainbow Warrior arbitration dan the Gabcikovo-Nagymaros Project dinyatakan apabila dalam kaitannya dengan persoalan pelanggaran terhadap perjanjian, maka pelanggaran tersebut terkait dengan hukum perjanjian yang terdapat dalam Konvensi Wina mengenai hukum traktat (VCLT). Sehingga, dapat dipandang bahwa hukum pertanggungjawaban memiliki keterkaitan erat dengan hukum perjanjian. Perbedaannya, hukum perjanjian menentukan berlakunya kewajiban dari traktat, sedangkan hukum mengenai pertanggungjawaban menentukan apa konsekwensi hukum bagi pelanggarannya[9]. Termasuk kadar sanksi yang dijatuhkan.

Sebuah sengketa mengenai persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban international (yang terdapat dalam hukum kebiasaan atau kewajiban dari perjanjian internasional) dapat berlangsung di tingkat nasional maupun internasional. Walau secara tradisional permintaan tanggungjawab hanya terjadi dalam hubungan antara negara, tapi pada saat ini terdapat tren baru yakni permintaan tanggungjawab oleh individu kepada negara, misal dalam kaitannya dengan pelanggaran atas konvensi HAM Eropa[10].

Dalam hukum internasional tidak terdapat perbedaan antara pertanggungjawaban perdata dan pidana sebagaimana dikenal oleh hukum nasional, sebagaimana ditunjukan dalam praktek. Dan belum pernah ada negara yang dituntut dalam kaitannya dengan penjatuhan hukum pidana. Dalam hal kejahatan oleh negara (state crime) semua negara dianggap terugikan dan dapat meminta pertanggungjawaban. Dan kesemuanya tidak ada yang bisa dikatakan sebagai pet.anggungjawaban pidana[11].

Walau tidak membedakan antara pertanggungjawaban perdata dan pidana, hukum internasional dalam mempersoalkan segala bentuk pelanggaran, kita perhatikan dua model. Pertama, wakil negara sebagai individu tidak memiliki kekebalan apabila dalam hal terkait dengan tindakan yang termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan apabila individu tersebut bertindak atas nama negara bukan motivasi pribadi[12]. Tapi dalam kasus Arrest Warrant pemahaman ini oleh ICJ ditolak[13]. Kedua, telah dimasukan oleh ILC mengenai konsekuensi atas pelanggaran terhadap norma Ius Cogen[14].

Bentuk Pertanggungjawaban Negara

Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban yang diakui dalam hukum internasional. Salah satunya adalah reparation. Akan tetapi, pada saat ini reparation sudah jarang digunakan karena pada saat ini lebih sering persoalan mengenai ekspropiasi yang lebih bersifat politis[15]. Disamping itu, penggunaan istilah ini makin membingungkan ketika Brownlie menerapkan istilah reparation untuk ditujukan kepada semua tindakan yang diambil oleh negara yang terkena pertanggungjawaban: pembayaran kompensasi atau restitusi, sebuah apologi, penghukuman atas individu yang bertanggungjawab, mengambil tindakan supaya tidak terjadinya pengulangan, segala bentuk pembalasan (satisfaction) lainnya. Problematika tidak berhenti sampai disitu, Brownlie membuat perbedaan antara restitusi dan kompensasi. Kompensasi adalah reparasi dalam pengertian sempit yang berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang sebagai nilai ganti atas kerugian[16].

Kompensasi dapat diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh suatu negara walaupun pelanggaran terhadap negara tersebut tidak berhubungan dengan kerugian yang bersifat finansial, misal pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik atau konsular. Ganti rugi dalam kaitannya dengan persoalan diatas disebut sebagai reparasi moral atau politis[17]. Akan tetapi, prinsip dasar dalam pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh suatu negara merupakan sebuah persoalan yang dapat kita generalisir. Sebagaimana yang dinyatakan oleh The Chorzow Factory Case:

The essential principle contained in the actual notion of an illegal act – a principle which seems to be established by international practice and in particular by the decisions of arbitral tribunals –  is that reparation must, as far as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-established the situation which would, in all probability, have existed if that act had not been commited. Restitution in kind, or, if this is not possible payment of a sum corresponding to the value which a restution in kind would bear; the award, if need be, of damages for loss sustained which would not be covered by restution in kind or payment inplace of it – such are the principles which should serve to determine the amount of compensation due for an act contrary to international law[18].

Dari pernyataan semua bentuk restitusi harus memiliki tujuan utama, yakni; perlindungan kepentingan negara penuntut yang harus dibedakan dengan model yang hanya ditujukan untuk mendapatkan legal standing untuk melindungi kepentingan hukum yang tidak identik dengan negara yang bersangkutan ataupun negara-negara lain. Sehingga sebisa mungkin restitusi tersebut dapat mengembalikan situasi ketika tidak terjadinya pelanggaran.

Sebelum menutup bagian ini perlu kita bahas dua bentuk lain dari remedy. Pertama, declaratory judgements yang merupakan putusan dari pengadilan internasional[19]. Putusan ini pada dasarnya merupakan kehendak dari para pihak yang bersengketa. Putusan ini bersifat declaratory bukan executory[20]. Hal ini seperti yang dituntut oleh para applicants dalam South West African Case yang hanya mempersoalkan tindakan dari Afrika Selatan yang menurut mereka bertentangan dengan sistem mandat[21].

Kedua adalah satisfaction yang memiliki arti sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah negara untuk mendapatkan sebuah putusan dari pengadilan yang mendukungnya. Dalam beberapa kasus, persoalan yang diajukan tidak menyebabkan kerugian secara langsung kepada negara yang mengajukan tapi melanggar hak negara tersebut[22]. Contoh mengenai ini bisa kita temukan dalam Corfu Channel Case dimana Inggris mengajukan gugatan terhadap Albania atas kerusakan berat dari dua kapal perang Inggris yang diakibatkan oleh ranjau yang ditempatkan oleh Albania[23]

Jenis Pertanggungjawaban Negara

Ada beberapa jenis dari pertanggungjawaban negara, diantaranya:
  1. Pertanggungjawaban atas pelanggaran perjanjian internasional
  2. Pertanggungjawaban atas pelanggaran kewajiban kontraktual
  3. Pertanggungjawaban atas konsesi
  4. Pertanggungjawaban atas ekspropriasi
  5. Pertanggungjawaban atas hutang negara
  6. Pertanggungjawaban atas kejahatan internasional

Pertanggungjawaban negara dapat timbul karena pelanggaran perjanjian internasional (“treaty”). Dalam hal ini, berlaku asas bahwa setiap pelanggaran suatu perjanjian menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian.[24]

BAB    III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pertanggungjawaban Negara merupakan sebuah pertanggungjawaban negara yang muncul akibat dari wrongful act yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan terhadap negara lain. Pertanggungjawaban Negara memiliki dua bentuk, yaitu pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada negara lain. Adapun jenis dari pertanggungjawaban negara itu ada beberapa, diantaranya adalah pertanggungjawaban negara terhadap perjanjian internasional dan pertanggungjawaban negara terhadap pelanggaran kewajiban kontraktual.
                                                      
B.     Saran

Hendaknya setiap negara di belahan dunia memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sejajar (equal) dengan negara lain dan saling menghormati kedaulatan antar negara satu sama lain. Hubungan yang terjadi jika setiap negara memposisikan sebagai partner yang saling membutuhkan maka tindakan wrongful act atau tindakan yang semena-mena terhadap negara lain akan bisa dihindari. Adapun conflict of states interest mengenai kebutuhan SDA bisa dilaksanakan dengan hubungan bilateral maupun multilateral melalui sebuah treaty.













DAFTAR PUSTAKA

Istanto, Sugeng. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Penerbit Alumni.
______________________. 2003. Pengantar Hukum Internasional Case & Materials dan Lampiran-lampiran. Bandung: Penerbit Alumni.
Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama.
Shaw, Malcolm N. 2008. International Law. Cambridge: Cambridge University Press.
Starke. 1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi 1. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
_____. 1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi 2. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
Tavipah, Yani Brilyani. 2013. Bahan Kuliah Mata Kuliah Hukum Internasional. Garut: Sekolah Tinggi Hukum Garut.
Thontowi, Jawahir. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama.


[1] Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Halaman 77.
[2] Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, halaman 541.
[3] David J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1982, halaman 374.
[4] PCIJ melalui kasus Factory at Chorzow dalam kaitannya dengan pelanggaran terhadap traktat menyatakan ‘the Court  observes that it is a principle of international, and even a general conception of law, that any breach of an engagement involves an obligation to make reparation ... is the indispensable complement of a failure to apply a convention, and there is no necessity for this to be stated in the convention it self’. Dikutip dalam Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases ... halaman 404.
[5] Res. Dewan Keamanan 647 dan 687.
[6] Id.
[7] Reparation of Injuries, Advisory Opinion, ICJ Report 1949.
[8] Chattin Claim 4 RIAA (1927) 282.
[9] James Crawford dan Simon Olleson, The Nature ... halaman 451.
[10][10] Lihat Donna Gomien, Short Guide to the European Convention on Human Rights, Strasbourg: Council of Europe, 2000.
[11] James Crawford dan Simon Olleson, ‘The Nature ... halaman 451 – 452.
[12] Lihat Statuta Peradilan Internasional.
[13] Dalam kasus ini ICJ menguatkan Kongo dengan dalih tindakan Belgia yang mengeluarkan surat penangkapan internasional terhadap menteri luar negerinya dengan tuduhan telah melakukan kejahatan internasional, diantaranya kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar kedaulatan Kongo. Arrest Warrant Case ICJ Rep. 14 Februari 2002.
[14] Lihat pasal 40 – 41 Rancangan pasal-pasal bagi pertanggungjawaban negara oleh ILC yang dikutip dalam Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Case ... halaman 405.
[15] Id
[16] Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon Press, 1992, halaman 458.
[17] Id.
[18] Dikutip dalam Id., halaman 458 – 459.
[19] Lihat D. W. Greig, International Law, London: Butterword, 1976. Halaman 605.
[20] Ian Brownlie, Principles … Halaman 459.
[21] Martin Dixon dan Robert McCorqoudale, Cases … halaman 420 – 421.
[22] D.W. Greig, International … halaman 606.
[23] Lihat dalam Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Case … Halaman 411 sampai 412.
[24] Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Halaman 79.

1 Response to "Makalah Pertanggungjawaban Negara (State Responsibility)"