Pengaruh Politik Hukum Belanda terhadap Dunia Bisnis di Indonesia

Pengaruh Politik Hukum Belanda terhadap Dunia  Bisnis di Indonesia

Kesenjangan daiam dunia usaha antara pengusaha pribumi dengan pengusaha non-pribumi di Indonesia sekarang ini, dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari keadaan perekonomian zaman penjajahan kolonial Belanda, yang teijadi justru sebagai akibat politik hukum pemerintah Belanda yang diskriminatif terhadap golongan-golongan penduduk Hindia Belanda dulu.

Politik hukum pemerintah Belanda yang diskriminatif itu tonggaknya adalah Indische Staatsregeling (IS), yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing dan Bumiputera. Ketiga golongan penduduk ini semula berada di bawah naungan hukum perdata masing-masing, sehingga terjadi pluralisme hukum.

Hukum perdata dan hukum dagang golongan Eropa disamakan dengan hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di Negeri Belanda. Sedangkan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing berlaku hukum adat sendiri. Namun, jika kepentingan sosial (umum) mereka menghendaki, menurut Pasal 131 IS pemerintah Hindia Belanda dapat memberlakukan hukum perdata Barat terhadap mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan.

Untuk keperluan orang-orang golongan Eropa, dibuatlah Burgerlijik Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) yang disusun berdasarkan asas persamaan (concordantie beginsel). Karena itu, kedua kodifikasi hukum itu hanyalah sebagai tiruan dari B W dan WvK Belanda (1838) yang merupakan jiplakan dari Code Civil Perancis (1804) dan Code de Commerce (1807). Di sana sini memang ada sedikit perubahan untuk menyesuaikan dengan keadaan Hindia Belanda sebagai daerah jajahan.

Namun, bagaimanapun penyusunan BW dan WvK itu tidak mungkin terlepas dari pikiran kaum penjajah, yang dalam tindakannya pertama-tama dan mungkin juga keseluruhannya, hanyalah mengejar kepentingan Negeri Belanda dan orang-orang Belanda.

BW dan WvK yang dibuat di Negeri Belanda dan kemudian dibawa ke Indonesia itu, ketika pertamakah berlaku tanggal 1 Mei 1848 (Stb. 1848 No. 10) hanya untuk orang-orang golongan Eropah saja. Akan tetapi, tujuh tahun kemudian (tahun 1855) hukum perdata Barat (BW dan WvK) itu diberlakukan juga oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap orang-orang golongan Timur Asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris yang masih menggunakan hukum adat mereka masing-masing (Stb 1855 No.79).

Kebijaksanaan itu dilatar-belakangi kepentingan ekonomi Ni'uni Belanda dan orang-orang Belanda. Dalam sejarah hukum diceritakan, waktu itu sebagian hasil bumi di Hindia Belanda seperti karet, kopi, teh, lada dar kopera, tidak hanya dipasarkan di dalam negeri tetapi juga dijual keluar negeri oleh pedagang orang-orang Belanda yang bekerjasama pedagang (perantara) orang-orang Tionghoa.

Justru untuk menjamin kepastian hukum dalam kerjasama dagang inilah, golongan Timur Asing yang semula berada di bawah naungan hukum adat yang tidak tertulis ditundukkan kepada hukum perdata Barat (BW dan WvK) yang tertulis.

Kebijaksanaan itu memberikan keuntungan yang tidak kecil bagi golongan Timur Asing, terutama orang-orang Tionghoa. Karena hubungan kerjasama dagang mereka dengan orang-orang Belanda itu, memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam mengelola usaha perdagangan yang baik.

Selain itu, untuk melakukan usaha-usaha dagang yang besar, mereka dapat mendirikan perseroan-perseroan PT, CV dan Firma yang diatur dalam WvK. Modal usaha dapat mereka peroleh dengan meminjam uang di bank, karena hak-hak tanah mereka (eigendom, senntut, erfpacht dan opstal) dapat dijadikan agunan dengan menggunakan lembaga jaminan hipotik.

Untuk menghindari risiko berbagai peristiwa yang merugikan, mereka dapat pula mengasuransikan harta kekayaannya. Surat-surat berharga juga dapat mereka pergunakan sebagai alat pembayaran yang praktis dan aman.

Jadi, sejarah hukum Indonesia menunjukkan, lebih satu setengah abad yang lampau (sejak 1855), orang-orang Timur Asing terutama Tionghoa, sudah mulai berkecimpung dalam dunia perdagangan dan perekonomian yang maju dan modem. Sehingga kepiawaian mereka dalam perekonomian umumnya dan perdagangan khususnya tidak diragukan lagi, yang diwariskan secara turun-temurun sejak dulu hingga kini.

Transaksi-transaksi dagang yang mereka adakan berdasarkan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) menurut hukum perdata Barat, tidak terbatas hanya mengenai barang-barang yang sudah ada, juga mengenai barang-barang yang belum ada tetapi akan ada, sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan transaksi-transaksi dagang yang tidak hanya bersifat lokal dan regional tetapi juga internasional dalam skala besar.

Sedangkan golongan Bumiputera (pribumi) sengaja dibiarkan oleh pemerintah Belanda berada di bawah naungan hukum Adat, sehingga kehidupan mereka tidak terusik oleh politik hukum Belanda itu . Dalam suasana yang demikian kolonial Belanda lebjh mudah menancapkan kuku penjajahannya lebih dalam di Indonesia.

Dalam sistem hukum Adat tradisional, golongan Bumiputera hanya melakukan perdagangan eceran yang bersifat konkret dan kontan. Mereka tidak bisa meminjam uang di bank untuk menambah modal usaha, karena tanah-tanah hak adat mereka tidak bisa dijadikan agunan dengan menggunakan lembaga jaminan hipotik.

Orang-orang Bumiputera baru bisa meminjam uang di bank mulai tahun 1910, setelah Pemerintah Hindia Belanda membuat lembaga jaminan credietverband (Stb. 1908 No.542), yang dipasang terhadap hak-hak tanah adat. Ini berarti orang-orang Bumiputera ketinggalan 55 tahun dibandingkan orang-orang Timur Asing (terutama Tionghoa dan Arab ) yang sudah mengenal dunia perbankan sejak tahun 1855 (Stb. 1855 No. 79).

Kemudian orang-orang Bumiputera baru bisa mendirikan perseroan-perseroan PT, CV dan Firma serta menggunakan surat-surat berharga seperti cek, wesel dan aksep sejak tahun 1917 setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan penundukan diri secara sukarela kepada hukum perdata Barat (Stb. 1917 No. 12), yang membuka kemungkinan untuk menundukkan diri (seluruhnya, sebagian, perbuatan tertentu dan secara diam-diam) kepada hukum perdata Barat.

Peraturan penundukan diri itupun sebetulnya dibuat untuk kepentingan orang-orang Belanda, yaitu untuk menjamin kepastian hukum, bilamana mereka mengadakan transaksi dagang dengan orang-orang Bumiputera yang waktu itu sudah mulai berkecimpung dalam dunia usaha yang cukup maju. Orang-orang Bumiputera bisa menundukkan diri kepada hukum perdata Barat yang tertulis. Sebaliknya, orang-orang Eropa tidak bisa menundukkan diri kepada hukum Adat yang tidak tertulis.

Pemerintah Belanda memang pernah merencanakan kodifikasi hukum perdata buat golongan Bumiputera, dengan tujuan utama yaitu untuk kepentingan kepastian hukum golongan Eropa. Namun, rencana ini akhirnya gagal karena banyak mendapat tantangan dari pengikut-pengikut Van Vollenhoven, yang dikenal sebagai Bapak Hukum Adat, yang menyatakan:

’’orang-orang Bumiputera sudah mempunyai hukum perdata

sendiri (hukum Adat) yang sudah seadilnya”.

Itulah sebabnya mengapa orang-orang Bumiputera tetap berada dibawah naungan hukum Adat, sampai balatentara Jepang datang ke Indonesia (1942), yang kemudian meneruskan berlakunya semua peraturan hukum peninggalan kolonial Belanda dengan membuat peraturan peralihan (Undang-undang No.l tahun 1942).

Untuk bidang kehidupan keluarga (seperti: perkawinan, perceraian dan perwarisan), hukum Adat memang masih memadai dipergunakan. Akan tetapi, untuk bidang perekonomian, hukum Adat jelas sulit dikatakan sebagai perangkat hukum yang baik dan dapat diandalkan untuk menata perekonomian modem. Karena itu, bagaimana mungkin orang-orang Bumiputera dapat mengembangkan perekonomiannya dengan baik setara dengan orang-orang Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa?

Demikian politik hukum Pemerintah Belanda yang diskriminatif mengakibatkan golongan-golongan penduduk Hindia Belanda tidak mendapat fasilitas ekonomi yang sama. Orang-orang golongan Eropa dan golongan Timur Asing terutama I ionghoa, karena berada di bawah naungan hukum perdata Barat, mendapat fasilitas ekonomi yang jauh lebih besar daripada orang-orang Bumiputera yang berada di bawuh naungan hukum Adat.


1 Response to "Pengaruh Politik Hukum Belanda terhadap Dunia Bisnis di Indonesia"

  1. Look at the way my acquaintance Wesley Virgin's tale starts in this SHOCKING and controversial VIDEO.

    You see, Wesley was in the military-and shortly after leaving-he found hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the government and others used to get whatever they want.

    These are the same tactics tons of celebrities (notably those who "come out of nowhere") and top business people used to become rich and successful.

    You probably know how you only use 10% of your brain.

    That's mostly because most of your brainpower is UNCONSCIOUS.

    Perhaps that thought has even taken place INSIDE your very own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head seven years back, while riding a non-registered, beat-up trash bucket of a car with a suspended driver's license and with $3 in his bank account.

    "I'm so frustrated with going through life paycheck to paycheck! When will I get my big break?"

    You've been a part of those those types of thoughts, am I right?

    Your success story is going to start. All you need is to believe in YOURSELF.

    Learn How To Become A MILLIONAIRE Fast

    ReplyDelete