BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan di segala bidang kehidupan yang akan terus dilaksanakan secara berkesinambungan, tentu membutuhkan tanah (sebagai lokasinya. Malahan pembangunan di bidang-bidang [kehidupan tertentu seperti pertanian, perkebunan, peternakan,perindustrian, perhubungan dan perumahan memerlukan tanah yang tidak sedikit. Sehingga soal pengadaan tanah sangat menentukan, suatu program pembangunan bisa dilaksanakan atau tidak.
Oleh karena itu, peranan hukum pertanahan menjadi sangat penting, karena menjadi dasar kebijaksanaan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut. Dalam kedudukan nya yang sangat strategis itu, hukum pertanahan nasional sebagaimana termuat dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan peraturan pelaksanaannya harus berfungsi sebagai sarana pembangunan.
Jadi, pendapat ahli hukum Amerika Serikat, Roescoc Pound, dari aliran Sociological Jurisprudence yang menyatakan law as a tool of social engineering bisa dipergunakan sebagai acuan. Akan tetapi, penerapannya harus disesuaikan dengan sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Lalu bagaimana agar UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaannya itu dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan? Tentu saja ketentuan-ketentuan UUPA itu tidak dipahami secara tekstual, tetapi secara kontekstual sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini sangat penting mengingat UUPA yang lahir puluhan tahun yang silam (1960), tidak dirancang dengan prediksi bakal menghadapi pembangunan segala bidang kehidupan yang bergemuruh membahana di seluruh nusantara seperti sekarang.
Kendatipun demikian, ketentuan-ketentuan UUPA yang merupakan transformasi dari hukum adat yang luwes, mempunyai kelenturan untuk disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dengan pembaruan pemahaman tersebut, semua kebutuhan pembangunan niscaya dapat diatur dengan sebaik-baiknya.
UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaannya yang ada sekarang, memang belum dapat dikatakan sebagai tata hukum pertanahan yang lengkap. Justru karena masih banyak peraturan pelaksanaannya yang belum ada, seperti undang-undang tentang hak milik yang kedudukannya sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA terkesan sangat lamban diciptakan. Undang-undang Hak Tanggungan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi sehingga diprioritaskan pembentukannya, baru berhasil diundangkan tanggal 9 April 1996, setelah ditunggu hampir 36 tahun lamanya. -
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA yang sudah ada perlu dievaluasi dengan saksama. Peraturan yang masih memadai diteruskan berlakunya, sedangkan peraturan yang sudah usang dan ^•tinggalan harus direvisi. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun r>o() tentang Pendaftaran Tanah, misalnya, mungkin sudah tidak *»• *umi lagi dengan kemajuan zaman, sehingga perlu diganti dengan |ttr«lumn yang lebih progresif yang sesuai dengan kebutuhan peinl'(ingunan, katakanlah agar lebih menarik minat pengusaha 'Ullltf miiiit menanamkan investasi di Indonesia.
Kendatipun demikian, ketentuan-ketentuan UUPA yang merupakan transformasi dari hukum adat yang luwes, mempunyai kelenturan untuk disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dengan pembaruan pemahaman tersebut, semua kebutuhan pembangunan niscaya dapat diatur dengan sebaik-baiknya.
UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaannya yang ada sekarang, memang belum dapat dikatakan sebagai tata hukum pertanahan yang lengkap. Justru karena masih banyak peraturan pelaksanaannya yang belum ada, seperti undang-undang tentang hak milik yang kedudukannya sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA terkesan sangat lamban diciptakan. Undang-undang Hak Tanggungan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi sehingga diprioritaskan pembentukannya, baru berhasil diundangkan tanggal 9 April 1996, setelah ditunggu hampir 36 tahun lamanya. -
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA yang sudah ada perlu dievaluasi dengan saksama. Peraturan yang masih memadai diteruskan berlakunya, sedangkan peraturan yang sudah usang dan ^•tinggalan harus direvisi. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun r>o() tentang Pendaftaran Tanah, misalnya, mungkin sudah tidak *»• *umi lagi dengan kemajuan zaman, sehingga perlu diganti dengan |ttr«lumn yang lebih progresif yang sesuai dengan kebutuhan peinl'(ingunan, katakanlah agar lebih menarik minat pengusaha 'Ullltf miiiit menanamkan investasi di Indonesia.
Pembentukan dan penyempurnaan peraturan pelaksanaan UUPA harus selalu berorientasi kepada pembangunan untuk
mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan orientasi yang sama, semua peraturan hukum pertanahan betul-betul menjadi suatu sistem yang saling berkaitan satu sama lain tanpa ada pertentangan, laksana suatu mozaik yang indah. Keserasian antara peraturan-peraturan hukum pertanahan ini sangat penting, karena dalam suatu sistem hukum tidak boleh ada peraturan yang sungguh-sungguh bertentangan.
Akan tetapi, betapapun serasinya rangkaian peraturan hukum pertanahan nasional itu, hanyalah merupakan susunan kata-kata yang indah di atas kertas, tidak banyak gunanya jika tidak dilaksanakan secara nyata, sesuai dengan semangat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Ini perlu dikemukan di sini, karena kenyataannya banyak sekali peraturan hukum yang baik tujuannya dan perumusan pasal-pasalnya, tetapi jelek pelaksanaannya, justru karena aparat pelaksana tidak mampu melakukan peran yang diidamkan, mungkin karena tidak profesional, mungkin karena tidak mempunyai integritas moral yang tinggi, dan mungkin karena tidak didukung sarana (fasilitas) yang memadai.
Kericuhan demi kericuhan pada kasus-kasus pembebasan tanah selama ini misalnya, menurut sementara pengamat bukan karena PMDN No. 15 tahun 1975 yang mengaturnya tidak baik, tetapi lebih disebabkan oleh aparat pelaksana yang seringkah tidak adil dan tidak jujur terhadap rakyat, terutama dalam menetapkan besaran uang ganti rugi tanah yang dibebaskan.
Terbukti setelah PMDN No. 15 tahun 1975 diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 yang dianggap lebih baik, ternyata pembebasan tanah masih tidak sunyi dari kericuhan. Di beberapa tempat rakyat melakukan protes, unjuk rasa atau mengadukan nasibnya ke Komnas HAM, LBH, DPR dan sebagainya, bukan karena tanahnya dipakai untuk melaksanakan pembangunan pelabuhan, jalan, jembatan, bendungan dan fasilitas umum lainnya, tetapi karena nilai ganti rugi yang diberikan atas tanah, bangunan dan tanaman yang dibebaskan terlalu kecil, jauh daripada kepantasan karena ditetapkan panitia tanpa melalui musyawarah.
Semua itu mengisyaratkan bahwa penyempurnaan peraturan hukum pertanahan harus disertai peningkatan profesionalisme dan integritas moral aparat pelaksana. Karena apabila aparat pelaksana betul-betul profesional dan mempunyai integritas moral yang tinggi, kekurang-sempumaan peraturan hukum pertanahan tidak menjadi kendala berarti untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Dan, last but not least, kehandalan UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaannya untuk berfungsi sebagai sarana pembangunan, juga ditentukan oleh sarana (fasilitas) pendukung yang meliputi organisasi yang baik, peralatan yang memadai dan modem, serta dana yang cukup. Peraturan pendaftaran tanah misalnya, pelaksanaannya dinilai kurang memuaskan, sebagaimana ternyata masih banyak tanah-tanah di kota apalagi di desa yang belum terdaftar, justru karena terbatasnya sarana atau fasilitas.
mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan orientasi yang sama, semua peraturan hukum pertanahan betul-betul menjadi suatu sistem yang saling berkaitan satu sama lain tanpa ada pertentangan, laksana suatu mozaik yang indah. Keserasian antara peraturan-peraturan hukum pertanahan ini sangat penting, karena dalam suatu sistem hukum tidak boleh ada peraturan yang sungguh-sungguh bertentangan.
Akan tetapi, betapapun serasinya rangkaian peraturan hukum pertanahan nasional itu, hanyalah merupakan susunan kata-kata yang indah di atas kertas, tidak banyak gunanya jika tidak dilaksanakan secara nyata, sesuai dengan semangat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Ini perlu dikemukan di sini, karena kenyataannya banyak sekali peraturan hukum yang baik tujuannya dan perumusan pasal-pasalnya, tetapi jelek pelaksanaannya, justru karena aparat pelaksana tidak mampu melakukan peran yang diidamkan, mungkin karena tidak profesional, mungkin karena tidak mempunyai integritas moral yang tinggi, dan mungkin karena tidak didukung sarana (fasilitas) yang memadai.
Kericuhan demi kericuhan pada kasus-kasus pembebasan tanah selama ini misalnya, menurut sementara pengamat bukan karena PMDN No. 15 tahun 1975 yang mengaturnya tidak baik, tetapi lebih disebabkan oleh aparat pelaksana yang seringkah tidak adil dan tidak jujur terhadap rakyat, terutama dalam menetapkan besaran uang ganti rugi tanah yang dibebaskan.
Terbukti setelah PMDN No. 15 tahun 1975 diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 yang dianggap lebih baik, ternyata pembebasan tanah masih tidak sunyi dari kericuhan. Di beberapa tempat rakyat melakukan protes, unjuk rasa atau mengadukan nasibnya ke Komnas HAM, LBH, DPR dan sebagainya, bukan karena tanahnya dipakai untuk melaksanakan pembangunan pelabuhan, jalan, jembatan, bendungan dan fasilitas umum lainnya, tetapi karena nilai ganti rugi yang diberikan atas tanah, bangunan dan tanaman yang dibebaskan terlalu kecil, jauh daripada kepantasan karena ditetapkan panitia tanpa melalui musyawarah.
Semua itu mengisyaratkan bahwa penyempurnaan peraturan hukum pertanahan harus disertai peningkatan profesionalisme dan integritas moral aparat pelaksana. Karena apabila aparat pelaksana betul-betul profesional dan mempunyai integritas moral yang tinggi, kekurang-sempumaan peraturan hukum pertanahan tidak menjadi kendala berarti untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Dan, last but not least, kehandalan UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaannya untuk berfungsi sebagai sarana pembangunan, juga ditentukan oleh sarana (fasilitas) pendukung yang meliputi organisasi yang baik, peralatan yang memadai dan modem, serta dana yang cukup. Peraturan pendaftaran tanah misalnya, pelaksanaannya dinilai kurang memuaskan, sebagaimana ternyata masih banyak tanah-tanah di kota apalagi di desa yang belum terdaftar, justru karena terbatasnya sarana atau fasilitas.
0 Response to "Makalah tentang Hukum Pertanahan sebagai Sarana Pembangunan"
Post a Comment