Pembebasan Tanah Tanpa harus melakukan Kericuhan
Kebutuhan akan tanah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan di masa mendatang, pasti akan semakin bertambah, sedangkan tanah negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas. Bahkan, di daerah irrtentu, tanah bebas itu mungkin sudah tidak ada lagi, sehingga jalan yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut, adalah dengan cara melakukan pembebasan tanah rakyat, seperti lazimnya dilakukan selama ini.
Pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Malahan sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 tanggal 13 Desember 1975 yang mengatur prosedur lembaga hukum itu, pembebasan tanah terus-menerus dilakukan hampir pada setiap pelosok Tanah Air.
Namun, kenapa sudah menjelang 15 tahun berpengalaman menjalankan ketentuan-ketentuan PMDN itu, pelaksanaan pembebasan tanah di mana-mana nyaris tidak pernah sunyi dari kericuhan.
Padahal pembebasan tanah dirancang sebagai alternatif yang lebih baik daripada pencabutan hak atas tanah, yang diatur oleh Undang-undang No. 2 tahun 1961 guna memperoleh tanah untuk pembangunan. Bukan saja4 karena pembebasan tanah dapat terlaksana lebih cepat, tetapi juga dianggap tidak menimbulkan \ keresahan. Sebab, pembebasan tanah tidak dilakukan dengan paksaan, melainkan dengan musyawarah dan harus ada kesepakatan (persetujuan) rakyat pemilik tanah atau menguasai tanah secara sah.
Bilamana kenyataannya selama ini banyak pembebasan tanah menimbulkan keresahan rakyat, jelas ini kontradiktif dengan maksud diadakannya lembaga hukum itu. Dan sudah barang tentu ekses tersebut hendaknya tidak terulang di masa-masa mendatang. Sebab, pembebasan tanah yang menimbulkan keresahan, dikhawatirkan akan mengganggu pembangunan yang sedang berjalan.
Apakah yang menjadi akar segala permasalahan pembebasan tanah selama ini? Apakah peraturannya yang tidak baik ataukah pelaksananya yang salah ?
Secara yuridis formal, PMDN No. 15 tahun,1975 yang mengatur pembebasan tanah sekarang ini, memang mengandung kelemahanya PMDN ini tidak mempunyai cantolan dalam UUPAt yang hanya menyebut lembaga hukum “pencabutan hak atas tanah”, tidak ada menyebut “pembebasan tanah”. Karena itu, Menteri Dalam Negeri dianggap tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang berisi pembebasan tanah tersebut.
Namun, kelemahan yuridis PMDN No. 15 tahun 1975, kiranya bukanlah sebab yang hakiki timbulnya keresahan rakyat dalam pembebasan tanah. Sebab, bagaimanapun pembebasan tanah merupakan lembaga hukum yang meletakkan ’’kepentingan bersama” di atas kepentingan pribadi, sebagaimana terkandung dalam UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pembebasan tanah justru dilakukan untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jadi, PMDN No. 15 tahun 1975 jelas mempunyai kekuatan yang berlaku secara filosofis.
Selain itu, lembaga pembebasan tanah tidak pernah disangsikan manfaatnya dalam melaksanakan pembangunan. Sebaliknya, pembebasan tanah merupakan cara yang cukup praktis untuk mendapatkan tanah buat pembangunan. Justru itulah keber-adaanya merupakan ’’keharusan” dalam sistem hukum Indonesia, demi menunjang kelancaran pembangunan di segala bidang kehidupan, yang hasilnya akan dinikmati oleh seluruh rakyat.
Mungkin karena menyadari semua itu, eksistensi lembaga pembebasan tanah tidak pernah digugat, melainkan diterima sebagai ’’kewajaran” di zaman pembangunan. Rakyat tidak keberatan adanya pembebasan tanah, tetapi mencampakkan kejanggalan pelaksanaannya.
Justru itu yang dinyatakan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ir. Sonni Harsono, dalam seminar ’’Penyediaan Tanah untuk Pembangunan” tanggal 28 Februari 1990:
adalah suatu fakta, bahwa dalam praktik tidak sulit untuk minta pengertian masyarakat, yang tanahnya akan terkena suatu proyek. Akan tetapi, hambatan terjadi, bila sudah menyangkut masalah bentuk dan besarnya ganti rugi (Kompas, 2 Maret 1990),
Pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Malahan sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 tanggal 13 Desember 1975 yang mengatur prosedur lembaga hukum itu, pembebasan tanah terus-menerus dilakukan hampir pada setiap pelosok Tanah Air.
Namun, kenapa sudah menjelang 15 tahun berpengalaman menjalankan ketentuan-ketentuan PMDN itu, pelaksanaan pembebasan tanah di mana-mana nyaris tidak pernah sunyi dari kericuhan.
Padahal pembebasan tanah dirancang sebagai alternatif yang lebih baik daripada pencabutan hak atas tanah, yang diatur oleh Undang-undang No. 2 tahun 1961 guna memperoleh tanah untuk pembangunan. Bukan saja4 karena pembebasan tanah dapat terlaksana lebih cepat, tetapi juga dianggap tidak menimbulkan \ keresahan. Sebab, pembebasan tanah tidak dilakukan dengan paksaan, melainkan dengan musyawarah dan harus ada kesepakatan (persetujuan) rakyat pemilik tanah atau menguasai tanah secara sah.
Bilamana kenyataannya selama ini banyak pembebasan tanah menimbulkan keresahan rakyat, jelas ini kontradiktif dengan maksud diadakannya lembaga hukum itu. Dan sudah barang tentu ekses tersebut hendaknya tidak terulang di masa-masa mendatang. Sebab, pembebasan tanah yang menimbulkan keresahan, dikhawatirkan akan mengganggu pembangunan yang sedang berjalan.
Apakah yang menjadi akar segala permasalahan pembebasan tanah selama ini? Apakah peraturannya yang tidak baik ataukah pelaksananya yang salah ?
Secara yuridis formal, PMDN No. 15 tahun,1975 yang mengatur pembebasan tanah sekarang ini, memang mengandung kelemahanya PMDN ini tidak mempunyai cantolan dalam UUPAt yang hanya menyebut lembaga hukum “pencabutan hak atas tanah”, tidak ada menyebut “pembebasan tanah”. Karena itu, Menteri Dalam Negeri dianggap tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang berisi pembebasan tanah tersebut.
Namun, kelemahan yuridis PMDN No. 15 tahun 1975, kiranya bukanlah sebab yang hakiki timbulnya keresahan rakyat dalam pembebasan tanah. Sebab, bagaimanapun pembebasan tanah merupakan lembaga hukum yang meletakkan ’’kepentingan bersama” di atas kepentingan pribadi, sebagaimana terkandung dalam UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pembebasan tanah justru dilakukan untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jadi, PMDN No. 15 tahun 1975 jelas mempunyai kekuatan yang berlaku secara filosofis.
Selain itu, lembaga pembebasan tanah tidak pernah disangsikan manfaatnya dalam melaksanakan pembangunan. Sebaliknya, pembebasan tanah merupakan cara yang cukup praktis untuk mendapatkan tanah buat pembangunan. Justru itulah keber-adaanya merupakan ’’keharusan” dalam sistem hukum Indonesia, demi menunjang kelancaran pembangunan di segala bidang kehidupan, yang hasilnya akan dinikmati oleh seluruh rakyat.
Mungkin karena menyadari semua itu, eksistensi lembaga pembebasan tanah tidak pernah digugat, melainkan diterima sebagai ’’kewajaran” di zaman pembangunan. Rakyat tidak keberatan adanya pembebasan tanah, tetapi mencampakkan kejanggalan pelaksanaannya.
Justru itu yang dinyatakan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ir. Sonni Harsono, dalam seminar ’’Penyediaan Tanah untuk Pembangunan” tanggal 28 Februari 1990:
adalah suatu fakta, bahwa dalam praktik tidak sulit untuk minta pengertian masyarakat, yang tanahnya akan terkena suatu proyek. Akan tetapi, hambatan terjadi, bila sudah menyangkut masalah bentuk dan besarnya ganti rugi (Kompas, 2 Maret 1990),
Benang kusut «lal.im |icml>H>asan tanah selalu berkisar di seputar ganti rugi. Ganti rugi yang terlampau murah atau dipotong untuk ini dan itu, atau tidak lunas dibayar, atau terlambat bayar, atau tidak dibayar sama sekali.
Bagaimana PMDN No. 15 tahun 1975 mengatur ganti rugi dalam pembebasan tanah ini? Dan sampai seberapa jauh melindungi kepentingan rakyat yang akan menyerahkan tanahnya?
Prof. Dr. A.P. Parlindungan dalam pidato Dies Natalis Universitas Islam Riau tanggal 10 Februari 1990 lalu menyatakan, bahwa:
peraturan pembebasan tanah yang termuat dalam PMDN No. 15 tahun 1975 kurang menampakkan diri sebagai pembela rakyat.
Pakar hukum agraria ini selanjutnya mengatakan:
dalam peraturan pembebasan tanah tersebut, rakyat yang tanahnya dibebaskan tidak diajak serta dalam panitia pembebasan tanah, yang jumlahnya sembilan orang (panitia sembilan). Karena rakyat tidak diikutsertakan dalam panitia, yang justru menentukan pembebasan tanah (seperti mengukur dan menetapkan harga tanah), maka kepentingan mereka gampang tersisihkan. Panitia bisa berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, termasuk misalnya demi kepentingan pribadi panitia (Kompas, 12 Februari 1990).
Menurut PMDN No. 15 tahun 1975, memang benar yang melakukan penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Namun, tidak berarti PPT dapat menetapkan ganti rugi tersebut seenaknya saja, tetapi harus melakukan ’’musyawarah” dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, berdasarkan ’’harga umum setempat”. Selain itu, juga harus diperhatikan ’’lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya”, yang dapat mempengaruhi harga tanah. Kemudian dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman, harus berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat.
Justru karena rakyat tidak diikutsertakan dalam keanggotaan PPT, sehingga keputusannya tidak mengikat rakyat. Rakyat bebas menyatakan ’’menerima” atau ’’menolak” keputusan PPT mengenai ganti rugi itu. Jika rakyat menolak keputusan PPT mengenai ganti rugi tersebut, terlepas dari apa pun yang menjadi alasannya, PPT dapat mengambil sikap tetap pada keputusannya semula kemudian meneruskan penolakan rakyat tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, Gubernur Kepala Daerah setelah mempertimbangkan segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan PPT atau menentukan lain, yang wujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh rakyat dan instansi pemerintah (swasta) yang memeilukan tanah.
Jika seandainya setelah keputusan Gubernur Kepada Daerah dikeluarkan, rakyat tetap tidak bisa menerimanya, pembebasan tanah tidak dapat dilaksanakan. Jadi, keputusan terakhir tetap ditangan rakyat pemilik tanah.
Dengan demikian, PMDN No. 15 tahun 1975 memuat ketentuan-ketentuan yang cukup melindungi kepentingan rakyat. Prof.Boedi Harsono dalam makalahnya yang berjudul, “Aspek-aspek \ uridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan,” yang disampaikan dalam Seminar Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 28 Februari 1990 di Jakarta menyatakan, bahwa:
peraturan-peraturan yang ada sekarang sudah sangat memadai. Artinya, bagi pihak yang memerlukan tanah, peraturan yang ada cukup memberikan landasan bagi mereka untuk memperoleh tanah. Dilain pihak, peraturan-peraturan tersebut cukup memberikan perlindungan kepada mereka yang harus menyerahkan tanahnya (Kompas, 2 Maret 1990).
Apalah artinya suatu peraturan sangat memadai jika hanya di atas kertas belaka, tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam keseharian? Peraturan itu tidak lebih daripada susunan kata-kata yang sudah kehilangan makna sebenarnya. Asas ’’musyawarah” yang tercantum dalam PMDN No. 15 tahun 1975 seakan-akan telah berubah menjadi ’’perintah” yang tidak bisa dibantah. ’’Pembebasan tanah” harus dibaca dalam hati dengan ‘ perampasan tanah”.
Bagaimana PMDN No. 15 tahun 1975 mengatur ganti rugi dalam pembebasan tanah ini? Dan sampai seberapa jauh melindungi kepentingan rakyat yang akan menyerahkan tanahnya?
Prof. Dr. A.P. Parlindungan dalam pidato Dies Natalis Universitas Islam Riau tanggal 10 Februari 1990 lalu menyatakan, bahwa:
peraturan pembebasan tanah yang termuat dalam PMDN No. 15 tahun 1975 kurang menampakkan diri sebagai pembela rakyat.
Pakar hukum agraria ini selanjutnya mengatakan:
dalam peraturan pembebasan tanah tersebut, rakyat yang tanahnya dibebaskan tidak diajak serta dalam panitia pembebasan tanah, yang jumlahnya sembilan orang (panitia sembilan). Karena rakyat tidak diikutsertakan dalam panitia, yang justru menentukan pembebasan tanah (seperti mengukur dan menetapkan harga tanah), maka kepentingan mereka gampang tersisihkan. Panitia bisa berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, termasuk misalnya demi kepentingan pribadi panitia (Kompas, 12 Februari 1990).
Menurut PMDN No. 15 tahun 1975, memang benar yang melakukan penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Namun, tidak berarti PPT dapat menetapkan ganti rugi tersebut seenaknya saja, tetapi harus melakukan ’’musyawarah” dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, berdasarkan ’’harga umum setempat”. Selain itu, juga harus diperhatikan ’’lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya”, yang dapat mempengaruhi harga tanah. Kemudian dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman, harus berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat.
Justru karena rakyat tidak diikutsertakan dalam keanggotaan PPT, sehingga keputusannya tidak mengikat rakyat. Rakyat bebas menyatakan ’’menerima” atau ’’menolak” keputusan PPT mengenai ganti rugi itu. Jika rakyat menolak keputusan PPT mengenai ganti rugi tersebut, terlepas dari apa pun yang menjadi alasannya, PPT dapat mengambil sikap tetap pada keputusannya semula kemudian meneruskan penolakan rakyat tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, Gubernur Kepala Daerah setelah mempertimbangkan segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan PPT atau menentukan lain, yang wujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh rakyat dan instansi pemerintah (swasta) yang memeilukan tanah.
Jika seandainya setelah keputusan Gubernur Kepada Daerah dikeluarkan, rakyat tetap tidak bisa menerimanya, pembebasan tanah tidak dapat dilaksanakan. Jadi, keputusan terakhir tetap ditangan rakyat pemilik tanah.
Dengan demikian, PMDN No. 15 tahun 1975 memuat ketentuan-ketentuan yang cukup melindungi kepentingan rakyat. Prof.Boedi Harsono dalam makalahnya yang berjudul, “Aspek-aspek \ uridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan,” yang disampaikan dalam Seminar Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 28 Februari 1990 di Jakarta menyatakan, bahwa:
peraturan-peraturan yang ada sekarang sudah sangat memadai. Artinya, bagi pihak yang memerlukan tanah, peraturan yang ada cukup memberikan landasan bagi mereka untuk memperoleh tanah. Dilain pihak, peraturan-peraturan tersebut cukup memberikan perlindungan kepada mereka yang harus menyerahkan tanahnya (Kompas, 2 Maret 1990).
Apalah artinya suatu peraturan sangat memadai jika hanya di atas kertas belaka, tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam keseharian? Peraturan itu tidak lebih daripada susunan kata-kata yang sudah kehilangan makna sebenarnya. Asas ’’musyawarah” yang tercantum dalam PMDN No. 15 tahun 1975 seakan-akan telah berubah menjadi ’’perintah” yang tidak bisa dibantah. ’’Pembebasan tanah” harus dibaca dalam hati dengan ‘ perampasan tanah”.
Oleh sebab itu, tidaklah perlu heran, jika terjadi dalam praktik, tanah yang hendak dibebaskan sudah dikuasai dan dipakai oleh pihak yang memerlukan, sementara proses pembebasannya belum tuntas dilaksanakan. Padahal semestinya pihak yang memerlukan tanah barulah dapat berbuat sesuatu terhadap tanah itu setelah adanya penyerahan atau pelepasan hak atas tanah oleh rakyat yang memilikinya (menguasai), yang dilakukan bersamaan dengan pembayaran ganti rugi, yang disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 orang anggota PPT, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.
Demikianlah sebenarnya akar segala permasalahan dalam pembebasan tanah selama ini. Peraturan yang telah ada tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, semua ini dipantau oleh Jakarta. Presiden Soeharto dalam pidatonya pada pembukaan raker Badan Pertahanan Nasional mengingatkan, agar:
pembebasan tanah dilakukan secara musyawarah, rakyat hendaknya mendapat ganti rugi yang wajar, dan harus diusahakan tidak mengakibatkan turunnya tingkat kehidupan sosial ekonomi mereka (Kompas. 6 Maret 1990).
Oleh sebab itu, jika di masa-masa mendatang ingin dilakukan pembebasan tanah tanpa kericuhan dan tidak menimbulkan keresahan rakyat, maka persoalannya yang mendasar bukan soal rakyat tidak diikutsertakan dalam PPT, yang oleh sementara kalangan dirasakan amat pincang, lantaran keanggotaan PPT seluruhnya aparat pemerintah, melainkan bagaimana PPT memahami, menghayati, dan menaati peraturan pembebasan tanah yang ada dengan sebaik-sebaiknya.
Rakyat dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, tidak bisa terlalu banyak diharapkan untuk membela kepentingannya sendiri dalam menghadapi pihak yang memerlukan tanah, sehingga harus dibela oleh semua anggota PPT, dengan cara berlaku jujur dan adil terhadap mereka.
Demikianlah sebenarnya akar segala permasalahan dalam pembebasan tanah selama ini. Peraturan yang telah ada tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, semua ini dipantau oleh Jakarta. Presiden Soeharto dalam pidatonya pada pembukaan raker Badan Pertahanan Nasional mengingatkan, agar:
pembebasan tanah dilakukan secara musyawarah, rakyat hendaknya mendapat ganti rugi yang wajar, dan harus diusahakan tidak mengakibatkan turunnya tingkat kehidupan sosial ekonomi mereka (Kompas. 6 Maret 1990).
Oleh sebab itu, jika di masa-masa mendatang ingin dilakukan pembebasan tanah tanpa kericuhan dan tidak menimbulkan keresahan rakyat, maka persoalannya yang mendasar bukan soal rakyat tidak diikutsertakan dalam PPT, yang oleh sementara kalangan dirasakan amat pincang, lantaran keanggotaan PPT seluruhnya aparat pemerintah, melainkan bagaimana PPT memahami, menghayati, dan menaati peraturan pembebasan tanah yang ada dengan sebaik-sebaiknya.
Rakyat dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, tidak bisa terlalu banyak diharapkan untuk membela kepentingannya sendiri dalam menghadapi pihak yang memerlukan tanah, sehingga harus dibela oleh semua anggota PPT, dengan cara berlaku jujur dan adil terhadap mereka.
0 Response to "Pembebasan Tanah Tanpa Kericuhan"
Post a Comment