Ganti Kerugian karena Pencemaran Lingkungan dalam Hukum Perdata
Tanggung-jawab yuridis pencemar lingkungan menurut hukum perdata adalah kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita, yang dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika kewajiban ku tidak dilaksanakan dengan sukarela atau tidak diselesaikan lewat musyawarah, penderita atau korban pencemaran lingkungan dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana disebut dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan ciplakan dari pasal 1401 BW Belanda itu menyatakan:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Istilah ’’perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatige daad) itu, sejak arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan ’’drukker arrest”, tidak hanya diartikan sebagai perbuatan yang bertentangad dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan (tidak melakukan suatu perbuatan) yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipembuat sendiri,atau bertentangan dengan hak subyektif orang lain, atau bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan ciplakan dari pasal 1401 BW Belanda itu menyatakan:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Istilah ’’perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatige daad) itu, sejak arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan ’’drukker arrest”, tidak hanya diartikan sebagai perbuatan yang bertentangad dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan (tidak melakukan suatu perbuatan) yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipembuat sendiri,atau bertentangan dengan hak subyektif orang lain, atau bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Pencemaran lingkungan jelas merupakan perbuatan melanggar hukum, karena secara nyata bertentangan dengan hak subyektif orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri, sebagaimana ditentukan UU Lingkungan Hidup No.4 tahun 1982. Pasal 5 UU Lingkungan Kidup (UULII) menyatakan:
(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang wajib memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Kemudian Pasal 20 ayat (1) UULH menyebutkan:
”Barangsiapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya ...,
Sementara dalam rangkaian Pasal-pasal 1366 s.d. 1369 KUH Perdata dinyatakan:
orang tidak hanya bertanggung-jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya sendiri, tetapi juga orang lain yang menjadi tanggungannya, barang-barang yang ada di bawah pengawasannya atau binatang miliknya.
Kini perlu dianalisis, persyaratan apa yang harus dipenuhi, agar gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum terhadap pihak yang mencemarkan lingkungan tersebut dikabulkan pengadilan ?
Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum dalam kasus pencemaran lingkungan, Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan, pihak yang mencemarkan lingkungan harus mempunyai ’’kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kelalaian (kurang hati-hati). Kerugian yang disebabkan pencemaran lingkungan, dapat berupa kerugian materiel, yang nyata-nyata diderita (dommages) dan hilangnya keuntungan yang diharapkan (interest) maupun kerugian immateriel, berupa berkurangnya kesenangan hidup karena ketakutan, kesakitan serta berkurangnya kenikmatan seseorang atas harta benda miliknya.
(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang wajib memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Kemudian Pasal 20 ayat (1) UULH menyebutkan:
”Barangsiapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya ...,
Sementara dalam rangkaian Pasal-pasal 1366 s.d. 1369 KUH Perdata dinyatakan:
orang tidak hanya bertanggung-jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya sendiri, tetapi juga orang lain yang menjadi tanggungannya, barang-barang yang ada di bawah pengawasannya atau binatang miliknya.
Kini perlu dianalisis, persyaratan apa yang harus dipenuhi, agar gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum terhadap pihak yang mencemarkan lingkungan tersebut dikabulkan pengadilan ?
Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum dalam kasus pencemaran lingkungan, Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan, pihak yang mencemarkan lingkungan harus mempunyai ’’kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kelalaian (kurang hati-hati). Kerugian yang disebabkan pencemaran lingkungan, dapat berupa kerugian materiel, yang nyata-nyata diderita (dommages) dan hilangnya keuntungan yang diharapkan (interest) maupun kerugian immateriel, berupa berkurangnya kesenangan hidup karena ketakutan, kesakitan serta berkurangnya kenikmatan seseorang atas harta benda miliknya.
Di Negeri Belanda misalnya pernah terjadi, seorang pemilik rumah dekat sungai ”de Voorste Stroom" menuntut ganti rugi Kotapraja Tilburg, karena pengotoran sungai yang menimbulkan bau busuk, sehingga mengurangi kenikmatan atas rumahnya. Gugatan itu dipenuhi.
Pasal 1365 KUHPerdata selanjutnya mensyaratkan ’’adanya hubungan kausal antara pencemaran lingkungan dengan kerugian yang terjadi, artinya kerugian tersebut benar-benar sebagai akibat dari tercemarnya lingkungan. Dalam ilmu hukum ada dua teori kausalitas yang sering dikemukakan para ahli untuk menjawab persoalan sebab akibat ini.
Pertama, teori "conditio sine qua non" dari Von Buri yang menyatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat, bila akibat itu tidak akan terjadi, jika sebab itu tidak ada. Kedua, "teori adequate veroorzaking” dari Von Kries yang menyatakan, suatu hal baru dikatakan sebab dari suatu akibat, jika menurut pengalaman masyarakat dapat diduga bahwa sebab itu akan diikuti akibat itu. Kebanyakan para ahli hukum mengikuti teori yang kedua.
Namun, terlepas dari teori mana yang ingin diterapkan, membuktikan terjadinya pencemaran lingkungan dengan segala dampaknya, bukanlah hal yang mudah. Sebab, membuktikan tercemarnya lingkungan memerlukan pemeriksaan laboratorium yang cukup canggih, yang hanya bisa dikerjakan para ahli dengan biaya yang besar. Hal ini menyebabkan para penderita atau korban pencemaran lingkungan yang umumnya rakyat kecil, tidak mampu membayar biaya pemeriksaan laboratorium tersebut. Sehingga, warga masyarakat jarang menuntut ganti kerugian melalui pengadilan, tetapi dengan melakukan “unjuk rasa” terhadap pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian..
Justru itu, masalah pembuktian dalam kasus pencemaran lingkungan, perlu dicarikan jalan keluarnya, agar warga musyarakat yang menderita kerugian akibat percemaran, dapat mrinpcroleh keadilan menurut prosedur hukum yang benar.
Ada sementara kalangan berpendapat, dalam memeriksa perkara pencemaran lingkungan, hendaknya diterapkan sistem pembuktian terbalik. Artinya, tergugatlah yang harus dibebani pembuktian (bahwa tidak ada pencemaran lingkungan), sedangkan penggugat cukup mengemukakan fakta-faktanya saja. Pendapat ini didasarkan kenyataan, bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, kebanyakan penderita (penggugat) tidak memahami teknologi modem, sedangkan tergugat adalah pengusaha yang lebih memahami teknologi modem serta mempunyai kemampuan untuk membayar biaya pemeriksaan laboratorium.
Pembuktian terbalik yang merupakan konsekuensi logis dari asas tanggung jawab langsung dan seketika (risico aansprake-lijkheid), memang diatur dalam UU Lingkungan Hidup. Namun, sistem pembuktian terbalik itu, menurut Pasal 21 UU tersebut, hanya diterapkan terhadap kasus-kasus pencemaran dan perusakan sumber daya tertentu, yang diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Sehingga, terhadap kasus-kasus pencemaran sumber daya lainnya, sistem pembuktian terbalik tidak bisa diterapkan.
Untuk mengatasi kesulitan penggugat (warga masyarakat) membuktikan tercemarnya lingkungan, gugatan dalam bentuk “kumulasi subyektif rnungKin dapat dijadikan alternatif. Karena dengan bentuk acara ini, para penderita (korban pencemaran) tidak mengajukan tuntutan sendiri-sendiri ke pengadilan, tetapi bergabung bersama dalam satu surat gugatan, sehingga biaya yang harus disediakan untuk proses pembuktian dapat ditanggung bersama. Disamping itu, kemungkinan adanya putusan-putusan pengadilan yang saling bertentangan antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lain, bisa dihindarkan.
Dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan, penggunaan bentuk acara kumulasi subyektif akan memberikan keuntungan lain, terutama bila dikaitkan dengan kenyataan, bahwa penderita pencemaran lingkungan adalah rakyat kecil, yang biasanya pasrah terhadap ketidak-adilan. Maka dengan mengajukan tuntutan bersama dalam satu gugatan, rakyat akan memiliki kekuatan dan keberanian memperjuangkan kepentingan mereka, tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.
Pasal 1365 KUHPerdata selanjutnya mensyaratkan ’’adanya hubungan kausal antara pencemaran lingkungan dengan kerugian yang terjadi, artinya kerugian tersebut benar-benar sebagai akibat dari tercemarnya lingkungan. Dalam ilmu hukum ada dua teori kausalitas yang sering dikemukakan para ahli untuk menjawab persoalan sebab akibat ini.
Pertama, teori "conditio sine qua non" dari Von Buri yang menyatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat, bila akibat itu tidak akan terjadi, jika sebab itu tidak ada. Kedua, "teori adequate veroorzaking” dari Von Kries yang menyatakan, suatu hal baru dikatakan sebab dari suatu akibat, jika menurut pengalaman masyarakat dapat diduga bahwa sebab itu akan diikuti akibat itu. Kebanyakan para ahli hukum mengikuti teori yang kedua.
Namun, terlepas dari teori mana yang ingin diterapkan, membuktikan terjadinya pencemaran lingkungan dengan segala dampaknya, bukanlah hal yang mudah. Sebab, membuktikan tercemarnya lingkungan memerlukan pemeriksaan laboratorium yang cukup canggih, yang hanya bisa dikerjakan para ahli dengan biaya yang besar. Hal ini menyebabkan para penderita atau korban pencemaran lingkungan yang umumnya rakyat kecil, tidak mampu membayar biaya pemeriksaan laboratorium tersebut. Sehingga, warga masyarakat jarang menuntut ganti kerugian melalui pengadilan, tetapi dengan melakukan “unjuk rasa” terhadap pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian..
Justru itu, masalah pembuktian dalam kasus pencemaran lingkungan, perlu dicarikan jalan keluarnya, agar warga musyarakat yang menderita kerugian akibat percemaran, dapat mrinpcroleh keadilan menurut prosedur hukum yang benar.
Ada sementara kalangan berpendapat, dalam memeriksa perkara pencemaran lingkungan, hendaknya diterapkan sistem pembuktian terbalik. Artinya, tergugatlah yang harus dibebani pembuktian (bahwa tidak ada pencemaran lingkungan), sedangkan penggugat cukup mengemukakan fakta-faktanya saja. Pendapat ini didasarkan kenyataan, bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, kebanyakan penderita (penggugat) tidak memahami teknologi modem, sedangkan tergugat adalah pengusaha yang lebih memahami teknologi modem serta mempunyai kemampuan untuk membayar biaya pemeriksaan laboratorium.
Pembuktian terbalik yang merupakan konsekuensi logis dari asas tanggung jawab langsung dan seketika (risico aansprake-lijkheid), memang diatur dalam UU Lingkungan Hidup. Namun, sistem pembuktian terbalik itu, menurut Pasal 21 UU tersebut, hanya diterapkan terhadap kasus-kasus pencemaran dan perusakan sumber daya tertentu, yang diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Sehingga, terhadap kasus-kasus pencemaran sumber daya lainnya, sistem pembuktian terbalik tidak bisa diterapkan.
Untuk mengatasi kesulitan penggugat (warga masyarakat) membuktikan tercemarnya lingkungan, gugatan dalam bentuk “kumulasi subyektif rnungKin dapat dijadikan alternatif. Karena dengan bentuk acara ini, para penderita (korban pencemaran) tidak mengajukan tuntutan sendiri-sendiri ke pengadilan, tetapi bergabung bersama dalam satu surat gugatan, sehingga biaya yang harus disediakan untuk proses pembuktian dapat ditanggung bersama. Disamping itu, kemungkinan adanya putusan-putusan pengadilan yang saling bertentangan antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lain, bisa dihindarkan.
Dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan, penggunaan bentuk acara kumulasi subyektif akan memberikan keuntungan lain, terutama bila dikaitkan dengan kenyataan, bahwa penderita pencemaran lingkungan adalah rakyat kecil, yang biasanya pasrah terhadap ketidak-adilan. Maka dengan mengajukan tuntutan bersama dalam satu gugatan, rakyat akan memiliki kekuatan dan keberanian memperjuangkan kepentingan mereka, tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.
0 Response to "Ganti Kerugian karena Pencemaran Lingkungan dalam Hukum Perdata"
Post a Comment