Risiko apabila ada Perubahan Nilai Mata Uang
Sejak medio 1997 lalu, perekonomian Indonesia dilanda badai ekonomi, yang mengakibatkan terpuruknya nilai matatu uang rupiah ke titik rendah. Jika sebelum krisis nilui tukar rupiah sekitar 2.600/dollar AS, kini mencapai apai 8000/dollar AS, balikan pernah mencapai 15.000/dollar AS
Krisis moneter yang mendampak terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia itu, bukan mustahil akan menimbulkan berbagai macam konflik hukum, jika persoalan yang muncul karena kejadian tak terduga tersebut, tidak ditempatkan dalam perspektif hukum yang adil.
Justru itu semua orang yang terlibat dalam berbagai perikatan harus mempunyai itikad baik (te goeder trouw), sebagaimana dimaksudkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan:
’’Perjanjian hams dilaksanakan dengan itikad baik”, yang menjadi dasar pelaksanaan perikatan. Sehingga dengan mengedepankan itikad baik itu orang akan senatiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat merugikan kepentingan orang lain.
Dalam dunia penegakan hukum di Indonesia dianut suatu anggapan, berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tersebut hakim berwenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai melanggar kepatutaD dan keadilan. Hakim bisa menyimpang dari susunan kata-kata perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian secara harfiah yang > demikian itu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan itikad baik itulah, Mahkamah Agung dalam beberapa buah putusannya telah menfatwakan bagaimana cara menyelesaikan utang piutang jika terjadi perubahan nilai mata uang, yang kiranya dapat dipergunakan masyarakat sebagai acuan untuk menyelesaikan sendiri kasus yang serupa, tanpa harus menjadi sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan yang membutuhkan energi tidak sedikit
Dalam suasana hukum Adat, Mahkamah Agung pernah memberikan putusan No.92/K/Sip/1952 yang menyatakan, bahwa tanah kebun kopi yang sebelum perang digadaikan 175 ringgit atau sama dengan Rp. 437,50 harus ditebus 15 x Rp. 437,50 = Rp.6.462,50. Kemudian dalam putusan No. 26K/Sip/1955 dinyatakan, bahwa tanah sawah yang digadaikan Rp.50,00 harus ditebus 15 x Rp.50,00 = Rp. 750,00.
Justru itu semua orang yang terlibat dalam berbagai perikatan harus mempunyai itikad baik (te goeder trouw), sebagaimana dimaksudkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan:
’’Perjanjian hams dilaksanakan dengan itikad baik”, yang menjadi dasar pelaksanaan perikatan. Sehingga dengan mengedepankan itikad baik itu orang akan senatiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat merugikan kepentingan orang lain.
Dalam dunia penegakan hukum di Indonesia dianut suatu anggapan, berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tersebut hakim berwenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai melanggar kepatutaD dan keadilan. Hakim bisa menyimpang dari susunan kata-kata perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian secara harfiah yang > demikian itu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan itikad baik itulah, Mahkamah Agung dalam beberapa buah putusannya telah menfatwakan bagaimana cara menyelesaikan utang piutang jika terjadi perubahan nilai mata uang, yang kiranya dapat dipergunakan masyarakat sebagai acuan untuk menyelesaikan sendiri kasus yang serupa, tanpa harus menjadi sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan yang membutuhkan energi tidak sedikit
Dalam suasana hukum Adat, Mahkamah Agung pernah memberikan putusan No.92/K/Sip/1952 yang menyatakan, bahwa tanah kebun kopi yang sebelum perang digadaikan 175 ringgit atau sama dengan Rp. 437,50 harus ditebus 15 x Rp. 437,50 = Rp.6.462,50. Kemudian dalam putusan No. 26K/Sip/1955 dinyatakan, bahwa tanah sawah yang digadaikan Rp.50,00 harus ditebus 15 x Rp.50,00 = Rp. 750,00.
Menurut Mahkanuih Agung, adalah pantas dan sesuai dengan
rasa keadilan, apabila dalam hal penggadaian tanah kedua belah pihak memikul masing-masing setengah dari risiko pembahan nilai mata uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan pada waktu menebusnya. Karena pada waktu tanah tersebut akan ditebus harga emas naik 30 kali lipat dibandingkan dengan harga emas pada waktu tanah-tanah itu digadaikan, sehingga tanah tersebut hams ditebus 15 kali lipat dari uang gadai semula.
Pendirian Mahkamah Agung mengenai uang gadai itu memang hams ditinggalkan, berhubung adanya Undang-undang No.56 Prp. 1960 yang menentukan, bahwa tanah yang sudah digadaikan tujuh tahun hams dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan. Akan tetapi, pertimbangan hukum mengenai risiko pembahan nilai mata uang masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Belakangan dalam mengadili perkara-perkara lain, yang bekenaan dengan pembayaran sejumlah uang, Mahkamah Agung tetap konsisten dengan pendirian semula. Sehingga dalam rangkaian putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Sip/1963, No.74 K/Sip/1969, No.380 K/Sip/1972 yang dapat dikatakan sudah menjadi yurispmdensi tetap (,standard arrest) dinyatakan, bahwa bilamana terjadi pembahan nilai mata uang, risikonya akan ditanggung bersama sama-rata setengah-setengah antara debitor dan kreditor dengan menggunakan harga emas sebagai ukuran.
Jika kaidah hukum yurispmdensi tetap ini mau dimate-matikakan, sehingga rumusannya adalah: Vi x (harga emas sekarang dibagi harga emas waktu peijanjian diadakan) x jumlah utang = jumlah uang yang hams dibayar debitor kepada kreditor.
Yurispmdensi Mahkamah Agung mengenai risiko pembahan nilai mata uang yang didasarkan itikad baik itu, kiranya dapat dipandang sebagai “cara penyelesaian yang adil”, terutama untuk menyelesaikan masalah utang piutang. Penerapannya tentu dilakukan setelah badai ekonomi berlalu, setelah nilai tukar rupiah dengan dollar AS normal kembali.
rasa keadilan, apabila dalam hal penggadaian tanah kedua belah pihak memikul masing-masing setengah dari risiko pembahan nilai mata uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan pada waktu menebusnya. Karena pada waktu tanah tersebut akan ditebus harga emas naik 30 kali lipat dibandingkan dengan harga emas pada waktu tanah-tanah itu digadaikan, sehingga tanah tersebut hams ditebus 15 kali lipat dari uang gadai semula.
Pendirian Mahkamah Agung mengenai uang gadai itu memang hams ditinggalkan, berhubung adanya Undang-undang No.56 Prp. 1960 yang menentukan, bahwa tanah yang sudah digadaikan tujuh tahun hams dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan. Akan tetapi, pertimbangan hukum mengenai risiko pembahan nilai mata uang masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Belakangan dalam mengadili perkara-perkara lain, yang bekenaan dengan pembayaran sejumlah uang, Mahkamah Agung tetap konsisten dengan pendirian semula. Sehingga dalam rangkaian putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Sip/1963, No.74 K/Sip/1969, No.380 K/Sip/1972 yang dapat dikatakan sudah menjadi yurispmdensi tetap (,standard arrest) dinyatakan, bahwa bilamana terjadi pembahan nilai mata uang, risikonya akan ditanggung bersama sama-rata setengah-setengah antara debitor dan kreditor dengan menggunakan harga emas sebagai ukuran.
Jika kaidah hukum yurispmdensi tetap ini mau dimate-matikakan, sehingga rumusannya adalah: Vi x (harga emas sekarang dibagi harga emas waktu peijanjian diadakan) x jumlah utang = jumlah uang yang hams dibayar debitor kepada kreditor.
Yurispmdensi Mahkamah Agung mengenai risiko pembahan nilai mata uang yang didasarkan itikad baik itu, kiranya dapat dipandang sebagai “cara penyelesaian yang adil”, terutama untuk menyelesaikan masalah utang piutang. Penerapannya tentu dilakukan setelah badai ekonomi berlalu, setelah nilai tukar rupiah dengan dollar AS normal kembali.
Kaidah hukum yurisprudensi itu tidak mutlak harus diikuti secara harfiah sesuai dengan susunan kata-kata dan angka-angkanya, tetapi yang penting diikuti adalah nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Sehingga secara analog dapat diterapkan terhadap pelaksanaan perikatan lain, yang prestasinya bukan mengenai pembayaran sejumlah uang.
0 Response to " Risiko yang di hadapi indonesia apabila ada Perubahan Nilai Mata Uang "
Post a Comment