Perbuatan Hukum yang banyak dilanggar oleh Para Penguasa
Belakangan ini cukup banyak aksi ganti rugi diajukan warga mayarakat ke pengadilan terhadap pemerintah atau pejabat pemerintah (penguasa), karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheids daad) dan menimbulkan kerugian.
Makin maraknya gugatan terhadap pemerintah itu menandakan adanya kesadaran hukum warga masyarakat akan haknya dan keberanian untuk menuntut keadilan melalui saluran hukum yang berlaku. Pejabat pemerintah yang digugat di pengadilan, tidak perlu menganggap hal itu sebagai tamparan yang merongrong wibawanya, tetapi sebagai peringatan agar hati-hati dalam melaksanakan tugasnya.
Perbuatan melanggar hukum yang dijadikan dasar gugatan ganti rugi, disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merupakan duplikasi Pasal 1401 B W Belanda yang menyatakan:
’’Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Untuk memahami konsepsi “perbuatan melanggar hukum” itu, hakim di Indonesia mengikuti paham yang dianut di Negeri Belanda, yang sejak tahun 1919 hingga kini berpegang pada putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan arrest drukker.
Menurut arrest tersebut, perbuatan melanggar hukum tidak lagi ditafsirkan secara sempit sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-udang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Makin maraknya gugatan terhadap pemerintah itu menandakan adanya kesadaran hukum warga masyarakat akan haknya dan keberanian untuk menuntut keadilan melalui saluran hukum yang berlaku. Pejabat pemerintah yang digugat di pengadilan, tidak perlu menganggap hal itu sebagai tamparan yang merongrong wibawanya, tetapi sebagai peringatan agar hati-hati dalam melaksanakan tugasnya.
Perbuatan melanggar hukum yang dijadikan dasar gugatan ganti rugi, disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merupakan duplikasi Pasal 1401 B W Belanda yang menyatakan:
’’Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Untuk memahami konsepsi “perbuatan melanggar hukum” itu, hakim di Indonesia mengikuti paham yang dianut di Negeri Belanda, yang sejak tahun 1919 hingga kini berpegang pada putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan arrest drukker.
Menurut arrest tersebut, perbuatan melanggar hukum tidak lagi ditafsirkan secara sempit sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-udang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri maupun barang orang lain.
Khusus mengenai ’’perbuatan melanggar hukum oleh penguasa”, dunia peradilan di Negeri Belanda sempat menganut ajaran yang memilah dan membedakan antara perbuatan penguasa di bidang hukum publik dan di bidang hukum privat. Sehingga aksi ganti rugi karena kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugasnya di bidang hukum publik dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Akan tetapi, sejak putusan Hoge Raad 21 November 1924 yang masyhur dengan sebutan Ostermann arrest, ajaran yang memilah perbuatan penguasa ditinggalkan, karena dipandang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Sejak Ostermann arrest itu Hoge Raad di Negeri Belanda menganut asas pertanggungjawaban negara, tanpa membedakan perbuatan melanggar hukum privat atau hukum publik. Sama seperti warga biasa yang melanggar hukum pidana.
Atas dasar itulah Hoge Raad membenarkan tuntutan ganti rugi Ostermann (seorang pedagang) yang gagal mengekspor barang dagangannya karena izin untuk itu tidak diberikan oleh pejabat bea dan cukai di Amsterdam. Padahal, izin ekspor tersebut tidak diberikan bukan berdasarkan undang-undang, tetapi sebaliknya bertentangan dengan undang-undang. Jadi, penguasa dalam kasus ini disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukum publiknya sendiri.
Ajaran yang tidak memilah dan membedakan antara perbuatan penguasa di bidang hukum privat dan hukum publik juga diikuti Indonesia. Setidaknya tercermin dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 28 November 1990 No.2947 K/Pdt/1998 terhadap kasus “lubang riol” di Medan. Mahkamah Agung ternyata membenarkan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang intinya menyatakan, bahwa Wali Kota Medan telah melakukan perbuatan melanggar hukum sehingga dihukum membayar ganti rugi karena lalai, membiarkan saja lubang riol ternganga walaupun sudah berbulan-bulan lamanya, sampai akhirnya menimbulkan korban (Kompas, 21/2/1991).
Jika kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugas di bidang hukum publik tidak dinyatakam sebagai perbuatan melanggar hukum, sehingga tidak dapat dituntut membayar ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, hukum akan kehilangan fungsinya yang ideal sebagai satana untuk memotivasi penguasa agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Dalam kaitan itu, tidak mustahil akan banyak warga masyarakat yang menderita kerugian karena kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tanpa dapat menuntut ganti rugi melalui pengadilan. Dan itu jelas tidak sesuai dengan asas pemerintahan yang baik dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian, putusan pengadilan dalam kasus lubang riol di Medan sepatutnya dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam mengadili kasus-kasus yang substansinya sama. Namun, bukan berarti setiap tuntutan ganti rugi terhadap pemerintah - karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum - niscaya dikabulkan.
Emanapun, bisa atau tidaknya tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan, masih harus dipertimbangkan segala sesuatunya secara kasuistis, agar putusan yang diberikan bisa dipertanggung-^ jawabkan secara ilmiah dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Akan tetapi, sejak putusan Hoge Raad 21 November 1924 yang masyhur dengan sebutan Ostermann arrest, ajaran yang memilah perbuatan penguasa ditinggalkan, karena dipandang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Sejak Ostermann arrest itu Hoge Raad di Negeri Belanda menganut asas pertanggungjawaban negara, tanpa membedakan perbuatan melanggar hukum privat atau hukum publik. Sama seperti warga biasa yang melanggar hukum pidana.
Atas dasar itulah Hoge Raad membenarkan tuntutan ganti rugi Ostermann (seorang pedagang) yang gagal mengekspor barang dagangannya karena izin untuk itu tidak diberikan oleh pejabat bea dan cukai di Amsterdam. Padahal, izin ekspor tersebut tidak diberikan bukan berdasarkan undang-undang, tetapi sebaliknya bertentangan dengan undang-undang. Jadi, penguasa dalam kasus ini disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukum publiknya sendiri.
Ajaran yang tidak memilah dan membedakan antara perbuatan penguasa di bidang hukum privat dan hukum publik juga diikuti Indonesia. Setidaknya tercermin dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 28 November 1990 No.2947 K/Pdt/1998 terhadap kasus “lubang riol” di Medan. Mahkamah Agung ternyata membenarkan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang intinya menyatakan, bahwa Wali Kota Medan telah melakukan perbuatan melanggar hukum sehingga dihukum membayar ganti rugi karena lalai, membiarkan saja lubang riol ternganga walaupun sudah berbulan-bulan lamanya, sampai akhirnya menimbulkan korban (Kompas, 21/2/1991).
Jika kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugas di bidang hukum publik tidak dinyatakam sebagai perbuatan melanggar hukum, sehingga tidak dapat dituntut membayar ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, hukum akan kehilangan fungsinya yang ideal sebagai satana untuk memotivasi penguasa agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Dalam kaitan itu, tidak mustahil akan banyak warga masyarakat yang menderita kerugian karena kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tanpa dapat menuntut ganti rugi melalui pengadilan. Dan itu jelas tidak sesuai dengan asas pemerintahan yang baik dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian, putusan pengadilan dalam kasus lubang riol di Medan sepatutnya dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam mengadili kasus-kasus yang substansinya sama. Namun, bukan berarti setiap tuntutan ganti rugi terhadap pemerintah - karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum - niscaya dikabulkan.
Emanapun, bisa atau tidaknya tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan, masih harus dipertimbangkan segala sesuatunya secara kasuistis, agar putusan yang diberikan bisa dipertanggung-^ jawabkan secara ilmiah dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
0 Response to "Perbuatan Hukum yang banyak dilanggar oleh Para Penguasa"
Post a Comment