Hal yang harus diperbaiki tentang Pembebasan Tanah di Indonesia

Hal yang harus diperbaiki tentang Pembebasan Tanah di Indonesia

Hal yang harus diperbaiki tentang Pembebasan Tanah di Indonesia

Kericuhan ternyata masih tetap menandai pelaksanaan pembebasan tanah hingga kini. Pelaksanaan pembebasan tanah yang riuh-rendahnya deberitakan harian-harian Ibu Kota belum lama berselang, adalah mengenai 40 hektar tanah di Jl. Jendral Sudirman, Kelurahan Senayan, Jakarta Selatan. Pokok persoalan yang menimbulkan kericuhan masih yang dulu-dulu juga yaitu mengenai ganti rugi. Sehingga, persoalan ganti rugi seakan-akan sudah menjadi prototipe masalah pembebasan tanah di Indonesia.

Pembebasan tanah yang sering ditandai kericuhan, jelas menimbulkan implikasi yang sangat luas. Bukan saja hal itu bisa mengganggu kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan, tetapi juga bisa merusak citra Indonesia sebagai negara hukum. Seakan-akan pembebasan tanah rakyat dilakukan dengan semena-mena, melanggar hukum, dan hak-hak asasi manusia.

Justru itu, gagasan-gagasan yang mendambakan perbaikan pembebasan tanah harus disambut secara positif. Cuma, bagaimana perbaikan harus dilakukan?

Apabila proses pembebasan tanah dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan dan penegakan hukum, usaha perbaikannya harus diarahkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi pembebasan tanah itu sendiri Dalam hal ini paling kurang ada 5 faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan pembebasan tanah, yaitu peraturan hukumnya, aparat pelaksananya, sarana atau fasilitasnya, masyarakatnya, dan kebudayaannya.

Pengaturan hukum yang mengatur tata cara pembebasan tanah termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 dan No.2 tahunl976. Kedua Permendagri ini secara yuridis dinilai mengandung banyak kelemahan, yang sangat memungkinkan timbulnya berbagai permasalahan dalam pembebasan tanah selama ini. Karena itu, timbul usulan dari berbagai kalangan, ug.ii kedua l’ermendagri tersebut ditinjau kembali.

Presiden Soeharto sendiri pada prinsipnya setuju atas usulan meninjau kembali kedua Permendagri itu, untuk kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Pemerintah (PP). Demikian, dikatakan kepala BPN, Ir. Soni Harosono, kepada wartawan, seusai bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Selasa li/6 yang lalu, ’’Cuma saja Presiden minta agar hal ini dipelajari secara mendalam lebih dahulu, sehingga ada kejelasan”, ujarnya. (.Kompas, 13 Juni 1991).

Perlunya dilakukan peninjauan terhadap PMDN No. 15 tahun 1975 dan No.2 tahun 1976 merupakan suatu keharusan untuk menata pelaksanaan pembebasan tanah yang lebih baik di masa depan. Namun, kelemahan yang hakiki dari perangkat hukum tersebut, bukanlah soal “bentuknya” (PMDN harus diganti dengan Keppres atau PP), melainkan ’’materinya” yang terlalu menekankan pada ’’kegunaannya” daripada ’’keadilannya”.

Hal ini terbukti dengan kurangnya perlindungan terhadap kepentingan rakyat. Rakyat tidak pernah diberi kesempatan untuk menyatakan apa yang terkandung dalam hati sanubarinya atau pikirannya, karena rakyat tidak diajak serta dalam Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Padahal PPT yang terkenal dengan sebutan Panitia Sembilan inilah yang paling menentukan pelaksanaan pembebasan tanah, seperti mengukur dan menetapkan harga tanah. Karena itu, dengan mudah kepentingan rakyat tersisihkan oleh kepentingan lain.

Kemudian mengenai ”asas musyawarah” yang dijadikan landasan pembebasan tanah tidak jelas modelnya. Apakah musyawarah dilakukan dengan seluruh pemilik tanah atau hanya dengan wakil-wakilnya saja, atau dilakukan dengan seorang demi seorang. Namun, entah mengapa dalam praktik pembebasan tanah, asas musyawarah ini seringkah kehilangan maknanya yang sebenarnya. Asas musyawarah hanya tertera di atas kertas belaka.

"Kepentingan umum” yang dijadikan alasan untuk melakukan pembebasan tanah, juga tidak jelas kriterianya, sehingga keadaannya menjadi sangat relatif. Artinya, “bergantung kepada urusan,” sehingga benarlah apa yang dikemukakan komisi II DPR saat dengar pendapat dengan BPN tanggal 29 November 1990, bahwa hal itu mengandung peluang disalahgunakan.

Ketidaksempurnaan PMDN No. 5 tahun 1975 dan No. 2 tahun 1976 mengatur tata cara pembebasan tanah ini sesungguhnya adalah hal yang wajar, sebab tidak ada peraturan hukum dalam bidang apapun kehidupan masyarakat modem sekarang ini yang sempurna. Akan tetapi, ketidaksempurnaan suatu peraturan seyogianya tidak perlu menjadi kendala , untuk melakukan -pembebasan tanah yang baik, jika aparat pelaksanaannya dapat ’’melakukan peranan yang seharusnya”, yaitu kemampuan untuk menangkap ’’rasa keadilan masyarakat” dan mengimplementasikannya dalam kehidupan keseharian.

Ketidaksempurnaan peraturan dalam mengatur masalah-masalah teknis pembebasan tanah, seperti tata cara musyawarah, kriteria kepentingan umum dan sebagainya, akan dapat diatasi dengan mudah oleh aparat pelaksana, yakni dengan melakukan “kreasi dan diskresi hukum” untuk menegakkan keadilan.

Akan tetapi, sayang aparat pelaksana pembebasan tanah kebanyakan belum mampu untuk melakukan ’’peranan yang seharusnya” itu. "Peranan yang sebenarnya” (kenyataannya) dari aparat pelaksana, belum mampu untuk melaksanakan pembebasan tanah yang baik Karena itu, mudah dimengerti, kalau pembebasan tanah selama ini hampir selalu ditandai dengan kericuhan, keresahan, dan kekacauan yang justru karena kelemahan dan ketidak-sempumaan peraturannya, serta diperparah oleh aparat pelaksana yang tidak mampu melakukan peranan yang seharusnya.

Dengan demikian, usaha perbaikan pembebasan tanah di masa depan, selain dengan menyempurnakan peraturannya, juga harus dengan melakukan pembinaan aparat pelaksananya. Hal ini sangat penting mengingat masalah pertanahan di Indonesia pasca era tinggal landas akan bertambah rumit, yang hanya akan dapat dipecahkan secara cerdas oleh aparat pelaksana yang memiliki kemampuan profesionalisme yang tangguh dan berintegritas moral yang tinggi (Tajuk Rencana Kompas 7 Maret 1990).
Selain itu, sarana atau fasilitas yang meliputi tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, keuangan yang cukup dan seterusnya, merupakan faktor yang tidak kecil pengaruhnya terhadap kelancaran pembebasan tanah. Kalau sarana atau fasilitas ini sangat tidak memadai, mustahil pembebasan tanah dapat dilaksanakan dengan baik. Pembebasan tanah akan amburadul jika sarana atau fasilitas sangat minim.

Pembebasan tanah yang tidak didukung data yang lengkap dan akurat misalnya, baik mengenai ukuran tanah, batas-batasnya, statusnya dan pemiliknya, niscaya akan menimbulkan kekacau-balauan. Ketidaklengkapan dan ketidaksahihan data mengenai tanah yang dibebaskan tersebut, seringkali menjadi sebab timbulnya perselisihan tentang siapa yang berhak menerima pembayaran ganti rugi, baik untuk tanah yang dibebaskan maupun bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Kisahnya menjadi tambah ramai, jika perselisihan tidak dapat diselesaikan secara damai, sehingga penyelesaiannya harus diajukan ke pengadilan.

Ketidaklengkapan dan ketidaksahihan data mengenai tanah yang dibebaskan, juga sangat riskan terjadinya ganti rugi yang fiktif dan berbagai macam manipulasi. Ini hanya sebagai contoh untuk menggambarkan betapa pentingnya sarana atau fasilitas dalam pelaksanaan pembebasan tanah. Justru itu perbaikan pembebasan tanah yang dilakukan dengan cara menyempurnakan peraturan hukumnya dan pembinaan aparat pelaksananya, harus dibarengi pula dengan peningkatan kualitas dan kuantitas sarana atau fasilitas pendukungnya.

Rakyat pemilik tanah atau yang menguasai tanah secara sah, adalah pihak yang terkena dan merasakan langsung akibat pembebasan tanah, baik yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Karena itu, rakyat merupakan faktor yang menentukan pula terhadap pelaksanaan pembebasan tanah.

Menurut Mahkanuih Agung, adalah pantas dan sesuai dengan

rasa keadilan, apabila dalam hal penggadaian tanah kedua belah pihak memikul masing-masing setengah dari risiko pembahan nilai mata uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan pada waktu menebusnya. Karena pada waktu tanah tersebut akan ditebus harga emas naik 30 kali lipat dibandingkan dengan harga emas pada waktu tanah-tanah itu digadaikan, sehingga tanah tersebut hams ditebus 15 kali lipat dari uang gadai semula.

Pendirian Mahkamah Agung mengenai uang gadai itu memang hams ditinggalkan, berhubung adanya Undang-undang No.56 Prp. 1960 yang menentukan, bahwa tanah yang sudah digadaikan tujuh tahun hams dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan. Akan tetapi, pertimbangan hukum mengenai risiko pembahan nilai mata uang masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Belakangan dalam mengadili perkara-perkara lain, yang bekenaan dengan pembayaran sejumlah uang, Mahkamah Agung tetap konsisten dengan pendirian semula. Sehingga dalam rangkaian putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Sip/1963, No.74 K/Sip/1969, No.380 K/Sip/1972 yang dapat dikatakan sudah menjadi yurispmdensi tetap (,standard arrest) dinyatakan, bahwa bilamana terjadi pembahan nilai mata uang, risikonya akan ditanggung bersama sama-rata setengah-setengah antara debitor dan kreditor dengan menggunakan harga emas sebagai ukuran.

Jika kaidah hukum yurispmdensi tetap ini mau dimate-matikakan, sehingga rumusannya adalah: Vi x (harga emas sekarang dibagi harga emas waktu peijanjian diadakan) x jumlah utang = jumlah uang yang hams dibayar debitor kepada kreditor.

Yurispmdensi Mahkamah Agung mengenai risiko pembahan nilai mata uang yang didasarkan itikad baik itu, kiranya dapat dipandang sebagai “cara penyelesaian yang adil”, terutama untuk menyelesaikan masalah utang piutang. Penerapannya tentu dilakukan setelah badai ekonomi berlalu, setelah nilai tukar rupiah dengan dollar AS normal kembali.

0 Response to "Hal yang harus diperbaiki tentang Pembebasan Tanah di Indonesia"

Post a Comment